Awas Hipertensi Muncul tanpa gejala


Tak ada cara mengetahui hipertensi selain pemeriksaan tekanan darah. Penyakit itu kerap datang tanpa gangguan penanda,

Datang diam-diam tanpa menimbulkan keluhan apapun. Demikianlah kamuflase hipertensi yang mampu menjebak setiap orang. Seperti pengakuan Karyono (56), yang tak menyangka bila kerusakan ginjal yang dialaminya berawal dari hipertensi yang terdeteksi pada 2001 silam.

Ketika dokter menjatuh kan vonis gagal ginjal pada tahun2004, warga bekasi itu merasa seolah dunia gelap. Hidup tak tenteram dan dilanda stres. “Rasanya kala itu tidak ada harapan,” kenangnya. Kini dia harus sabar dan tegar menjalani cuci darah rutin seumur hidup.


Berkaca pada pengalaman karyono, sebaiknya jangan pernah menyepelekan penyakit tekanan darah tinggi alias hipertensi. Kasus tersebut seakan mengukuhkan julukan “ the Silent disease” bagi penyakit yang ditandai dengan kenaikan level tekanan darah hingga 140/90 mmHg atau lebih itu. Pasalnya, rata-rata penderita memang tidak mengetahui dirinya mengidap hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya.

Sayangnya, banyak masyarakat yang belum sadar atau masih enggan memeriksakan kesehatannya yang terkait hipertensi. Ada yang beralasan malas, tapi ada pula yang tidak ke dokter karena badanya merasa baik saja tanpa keluhan. “Di negara maju seperti Amerika saja, hanya 70% orang yang sadar bahwa dia hipertensi. Dan yang betul-betul berobat tidak lebih dari 30%, “Ungkap anggota dewan penasihat Himpunan Hipertensi Indonesia Atau Indonesia Society of Hypertension (InaSH), Prof.Dr. Jose Roesma PhD SpPD-KGH.

Penyakit kardiovaskular (CVD) yang merupakan terminologi untuk gangguan yang menyebabkan penyakit jantung dan pembuluh darah, konon menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Perbandingannya satu dari tiga kematian di seluruh dunia. Terbukti, hipertensi merupakan faktor resiko yang paling banyak morbiditas dan kemmatian akibat dari CVD.

Presiden InaSH, Dr Arieska Ann Soenarta SpJP(K) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor resiko CVD. Beberapa diantaranya tidak dapat dikendalikan, seperti usia, jenis kelamin, dan riwayat CVD pada keluarga. Namun, faktor-faktor resiko seperti kadar kolesterol tinggi, hipertensi, diabetes, obesitas, dan gaya hidup tidak sehat, sejatinya bisa dikendalikan dan dihindari.

“Makin banyak faktor resiko, makin tinggi resiko kematian. Namun, faktor resiko yang paling penting dicegah adalah hipertensi !,” sebut wanita yang akrab di sapa Ann itu. 

Hipepertensi memang menjadi masalah kesehatan masyarakat, dan akan menjadi masalah yang makin besar jika tidak ditanggulangi sejak dini. Prof Jose mengungkapkan, sekitar 90% hipertensi disebabkan faktor yang diturunkan. Artinya, orang yang hipertensi punya “bakat” yang didapat dari keturunan. Akan tetapi, faktor genetik hanya akan muncul jika ada faktor pemicu  dari lingkungan seperti kegemukan, merokok, konsumsi garam, dan alkohol berlebih, stres, atau hidup santai yang kurang gerak dan olahraga.

“Deteksi dini diperlukan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut, atau yang lebih baik lagi adalah mencegah bakat yang sudah ada agar tidak muncul,” sarannya.

Hipertensi dapat muncul setelah setahun atau ditemukan saat sudah terjadi komplikasi ketika terjadi kenaikan darah yang signifikan, maka yang bersangkutan dapat merasakan gejala seperti sakit kepala, mengantuk, keletihan, sulit tidur, gemetar, mimisan atau penglihatan kabur. Bahkan pada hipertensi maligna, bisa muncul keluhan sakit kepala, kerusakan penglihatan, kejang hingga koma.

Kerusakan organ merupakan istilah umum yang digunakan atas terjadinya komplikasi akibat hipertensi tak terkontrol atau berkepanjangan. Organ dimaksud meliputi otak, ginjal, dan jantung. Kerusakan pada organ-organ tersebut dapat menyebabkan masalah kardiovaskular jangka panjang seperti penyakit jantung, serangan jantung, stroke bahkan kematian.

No comments:

Post a Comment